Karang Kamulyan/Ciung Wanara
Kisah tentang Ciung Wanara memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh ( sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran ). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama ( Dewi Naganingrum ). Singkat cerita, dalam memerintah raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi peenrus kerajaan Galuh dengan adil dan bijaksana.
Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan kisah, begitu pula beberapa lokasi lain yang terdapat di dalamnya yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh seperti ; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan cikahuripan.
Situs Karangkamulyan merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pertama menurut penyelidikan Tim dari Balar yang dipimpin oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997. Bahwasannya di tempat ini pernah ada kehidupan mulai abad ke IX, karena dalam penggalian telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit.
Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur, dengan batas sebelah utara adalah jalan raya Ciamis-Banjar, sebelah selatan sungai Citanduy, sebelah barat merupakan sebuah pari yang lebarnya sekitar 7 meter membentuk tanggul kuno, dan batas sebelah timur adalah sungai Cimuntur. Karena merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga, akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah.
Udara yang cukup sejuk terasa ketika kita memasuki gerbang utama situs ini. Tempat parkir yang luas dengan pohon-pohon besar disekitar semakin menambah sejuk Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan kita lewati adalah Pelinggih ( Pangcalikan ). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni ( tempat pemujaan ) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen ( kubur batu ). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.
Sahyang Bedil
Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6.20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik. Menurut masyarakat sekitar, Sanghyang Bedil dapat dijadikan pertanda datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi.
Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di sebelah selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya, dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.
Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.
Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.
Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan, itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja
Mataram.
Makam Jambansari
Mataram.
Makam Jambansari
Di tengah kota Ciamis tepatnya di Jl. Achmad Dahlan, lingkungan Rancapetir, Kelurahan Linggasari, Kecamatan Ciamis, tepatnya pada koordinat 07º19'48,7'' LS dan 108º20'54,2'' BT. terdapat komplek makam yang dikenal dengan nama Jambansari. Situs ini berada pada ketinggian 233 m di atas permukaan laut. Sekitar komplek merupakan pemukiman penduduk kecuali di sebelah selatan yaitu berupa sawah. Situs ini merupakan kompleks makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Bupati Ciamis ke-16, yang berkuasa dari tahun 1839 - 1886. Situs berada di lahan seluas 4 hektar. Pada lahan tersebut selain terdapat kompleks makam juga terdapat tanah persawahan. Komplek makam Bupati Ciamis yang dikelola oleh Yayasan Kusumadiningrat ini dibangun pada tahun 1872.
Kompleks Jambansari dikelilingi pagar tembok yang tingginya sekitar 2 m. Pintu gerbang untuk masuk ke kompleks makam Jambansari berada di sisi timur, dengan bentuk bangunan seperti telor. Untuk masuk ke komplek makam melewati tangga trap. Di tengah komplek makam terdapat bangunan cungkup yang sangat kuat terbuat dari kayu jati. Atap cungkup berbentuk limas. Di dalam cungkup tersebut terdapat makam Kanjeng Prebu R.A.A. Koesoemadiningrat, Bupati Galuh Ciamis. Di sekeliling pemakaman terdapat beberapa makam kerabat dan para keturunan Prebu.
Di dalam Komplek terdapat bangunan penyimpanan benda-benda pusaka seperti yoni, lingga, menhir, Ganesha, gong, keris, keramik dan lain-lain. Selain di dalam bangunan penyimpanan benda-benda pusaka, arca-arca juga ada yang dikumpulkan di rerimbunan pohon weregu di samping bangunan itu. Total seluruh arca yang ada di kompleks tersebut adalah 13 arca. Menurut keterangan juru kunci makam, arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka dakwah agama Islam, sehingga bagi yang mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk dikumpulkan di lokasi tersebut. Arca-arca yang terdapat di lokasi ini di antaranya berbentuk arca megalitik, arca tipe Pajajaran, Nandi, Ganesha, dan lingga. Selain itu di lokasi ini juga terdapat lumpang batu dan lapik arca.
Dengan mengunjungi kompleks makam ini sebetulnya para peziarah akan mendapatkan dua informasi, pertama mengenai sejarah perjuangan RAA Kusumadiningrat, dan kedua pola islamisasi yang dilaksanakan oleh RAA Kusumadiningrat. Bagaimana beliau menyikapi terhadap religi terdahulu tercermin dari kondisi arca-arca Hindu yang terkumpul di kompleks makam tersebut. Pengembangan ke aspek wisata ziarah di situs ini sangat didukung dari keletakannya yang di tengah kota serta tersedianya fasilitas bagi pengunjung di lokasi itu.
Kompleks Jambansari dikelilingi pagar tembok yang tingginya sekitar 2 m. Pintu gerbang untuk masuk ke kompleks makam Jambansari berada di sisi timur, dengan bentuk bangunan seperti telor. Untuk masuk ke komplek makam melewati tangga trap. Di tengah komplek makam terdapat bangunan cungkup yang sangat kuat terbuat dari kayu jati. Atap cungkup berbentuk limas. Di dalam cungkup tersebut terdapat makam Kanjeng Prebu R.A.A. Koesoemadiningrat, Bupati Galuh Ciamis. Di sekeliling pemakaman terdapat beberapa makam kerabat dan para keturunan Prebu.
Di dalam Komplek terdapat bangunan penyimpanan benda-benda pusaka seperti yoni, lingga, menhir, Ganesha, gong, keris, keramik dan lain-lain. Selain di dalam bangunan penyimpanan benda-benda pusaka, arca-arca juga ada yang dikumpulkan di rerimbunan pohon weregu di samping bangunan itu. Total seluruh arca yang ada di kompleks tersebut adalah 13 arca. Menurut keterangan juru kunci makam, arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka dakwah agama Islam, sehingga bagi yang mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk dikumpulkan di lokasi tersebut. Arca-arca yang terdapat di lokasi ini di antaranya berbentuk arca megalitik, arca tipe Pajajaran, Nandi, Ganesha, dan lingga. Selain itu di lokasi ini juga terdapat lumpang batu dan lapik arca.
Dengan mengunjungi kompleks makam ini sebetulnya para peziarah akan mendapatkan dua informasi, pertama mengenai sejarah perjuangan RAA Kusumadiningrat, dan kedua pola islamisasi yang dilaksanakan oleh RAA Kusumadiningrat. Bagaimana beliau menyikapi terhadap religi terdahulu tercermin dari kondisi arca-arca Hindu yang terkumpul di kompleks makam tersebut. Pengembangan ke aspek wisata ziarah di situs ini sangat didukung dari keletakannya yang di tengah kota serta tersedianya fasilitas bagi pengunjung di lokasi itu.
Museum Galuh
Museum Galuh Imbanagara terletak di Jln Mayor Ali Basyah No.311 Imbanagara Raya Ciamis. Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan kabupaten Ciamis tak lepas dari sejarah Galuh Imbanagara yang menjadi menjadi pusat pemerintahan selama kurang lebih 2 abad .
Museum ini didirikan untuk mengamankan benda-benda pusaka dan dokumen sejarah Galuh Imbanagara Ciamis, Museum ini telah diresmikan oleh Bupati Ciamis pada tanggal 12 Mei 2004 .
Benda-benda yang terdapat didalam museum ini antara lain :
• Keris-keris peninggal Galuh Imbanagara
• Dokumen-dokumen penting milik Galuh Imbanagara
• Foto-foto tentang sejarah Galuh Imbanagara
• dan benda-benda pusaka peninggalan Galuh Imbanagara lainnya ..
Dengan adanya museum ini, ketua yayasan Galuh Imbanagara yaitu bapak R. Enggun S Rachmat berharap warga masyarakat Tatar Galuh Kabupaten Ciamis dapat melihat langsung serta mengetahui tentang keberadaan sejarah kabupaten Galuh di masa lalu ..
Namun, sayangnya letak Museum Galuh Imbanagara ini kurang strategis . kita harus memasuki sebuah gang untuk mencapainya. Museum ini juga relatif sepi dan kecil dibandingkan dengan museum-museum lain yang ada di Indonesia.
Situs Astana Gede Kawali
Situs Astana Gede di Dusun Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Ciamis ini menyimpan kandungan histori yang amat tinggi. Ada nilai-nilai luhur terbubuhkan di sini. Adalah Raja Wastu Kancana yang menorehkan pesan-pesannya di atas bongkahan batu cadas. Uniknya, pesan-pesan itu ditoreh menggunakan tangannya. Apa isi pesan mistis sang prabu?
Masyarakat luas lebih mengenal Situs Astana Gede ini dengan nama Prasasti Kawali. Di kompleks ini terdapat sembilan situs yang sangat dilindungi. Dari sembilan situs ini, beberapa diantaranya terdiri dari batu bertulis atau prasasti. Menurut penelitian kepurbakalaan, situs-situs ini adalah tinggalan Prabu Wastu Kancana pada abad ke-13 masehi. Pada masa itu, beliau dikenal sebagai raja muda yang arif dan bijaksana. Selain itu, Prabu Wastu dikenal pula sebagai raja yang sakti mandraguna.
Ketika Prabu Wastu memerintah, kondisi rakyat berada dalam kesejahteraan, adil dan makmur. Tak heran bila sang raja berhasil memimpin negeri di tanah Kawali mencapai 104 tahun lamanya. Seperti diurai juru kunci kompleks Astana Gede, Akup Wiria (65), Prabu Wastu adalah raja yang naik tahta pada umur 24 tahun dan berumur panjang.
Karena cita-citanya yang ingin agar rakyat Kawali adil dan makmur, maka diakhir hayatnya, sang prabu menorehkan pesan-pesan mistis di atas beberapa bongkah batu cadas yang keras. Uniknya, torehan pesan bijak tersebut dilakukan dengan telunjuk tangannya. Hal seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang biasa. Dan prabu Wastu telah menunjukkan kadigdayaannya agar pesan-pesannya dikenang sepanjang masa. Yang tidak kalah mengherankan juga terjadi pada sebongkah batu masih di kompleks itu pula. Di situ terdapat bekas telapak kaki sang prabu.
Dan memang, sejarah telah membuktikan. Berabad-abad kemudian, prasasti-prasasti ini ditemukan dan dijadikan benda cagar budaya yang dilindungi. Anehnya, kawasan yang tak lebih dari 200 meter persegi ini sangat mengesankan kehidupan tempo dulu. Menurut beberapa peziarah dan pengunjung Astaga Gede, terasa betul ada hawa mistis yang seolah-olah menyelimuti tempat ini. “Kalau berada di sini kita seperti hidup di masa yang lalu,” tutur Samsudin (43), salah seorang pengunjung.
Selain situs dan makam keturunan kerajaan Kawali, di kompleks Astana Gede ini masih ditumbuhi pohon-pohon berusia tua. Terlihat dari akar-akarnya yang panjang melingkar dan menyembul keluar. Kondisi ini semakin mengukuhkan Astana Gede sebagai tempat yang tidak lekang dimakan zaman.
Seperti diungkap juru kunci Akup Wiria, kompleks Astana Gede boleh dibilang amat keramatkan masyarakat. Itu tak lain karena ada pesan-pesan luhur yang ditorehkan karuhun (leluhur) untuk generasi penerus. Bahkan pada hari-hari tertentu, kompleks ini sering dikunjungi oleh para peziarah. Tujuannya mereka tidak lain untuk ngalap berkah.
Namun Akup Wiria menyayangkan karena pesan-pesan yang terdapat di Astana Gede cenderung diabaikan oleh generasi sekarang, terutama para pimpinan. “Makanya jangan heran bila sekarang bangsa ini tengah diancam kehancuran. Soalnya mereka terutama sibuk dengan urusan pribadi. Mereka lupa nasib rakyatnya dan juga pesan-pesan leluhur,” tandas juru kunci yang sudah puluhan tahun menjaga Astana Gede,
Misalnya pada Prasasti I, terdapat tulisan berbunyi, “Inilah bekas beliau yang mulia prabu Wastu Kancana, yang berkuasa di kota Kawali yang memperindah keraton Surawisesa yang membuat parit di sekeliling ibukota yang memakmurkan seluruh desa. Semoga anda penerus yangmelaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.”
Lalu para prasasti II, “Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan.” Dan prasasti IV, “Dari rasa yang ada yang menghuni kota ini jangan berjudi, bisa sengsara.” Semua pesan-pesan itu, kata Akup, sangat cocok dengan kondisi sekarang. Dan buktinya tidak diindahkan. Wajar bila negara ini dalam krisis berkepanjangan.
Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini kerap muncul isyarat aneh. Masyarakat di sana sudah mengerti bila isyarat itu muncul dari para arwah leluhur. Misalnya ketika ada keramaian seperti pertunjukan seni. Suatu ketika, pernah ada pertunjukan seni tradisional yang digelar siswa-siswa sekolah dasar di Ciamis. Pertunjukan dilangsungkan pada malam hari di depan pintu masuk kompleks. Kebetulan, cerita yang dipertunjukkan bertema perang bubat.
SITU LENGKONG
Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas permukaan laut.
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora” lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan disimpan di Museum Bumi Alit yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan. Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.
Museum Galuh Imbanagara terletak di Jln Mayor Ali Basyah No.311 Imbanagara Raya Ciamis. Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan kabupaten Ciamis tak lepas dari sejarah Galuh Imbanagara yang menjadi menjadi pusat pemerintahan selama kurang lebih 2 abad .
Museum ini didirikan untuk mengamankan benda-benda pusaka dan dokumen sejarah Galuh Imbanagara Ciamis, Museum ini telah diresmikan oleh Bupati Ciamis pada tanggal 12 Mei 2004 .
Benda-benda yang terdapat didalam museum ini antara lain :
• Keris-keris peninggal Galuh Imbanagara
• Dokumen-dokumen penting milik Galuh Imbanagara
• Foto-foto tentang sejarah Galuh Imbanagara
• dan benda-benda pusaka peninggalan Galuh Imbanagara lainnya ..
Dengan adanya museum ini, ketua yayasan Galuh Imbanagara yaitu bapak R. Enggun S Rachmat berharap warga masyarakat Tatar Galuh Kabupaten Ciamis dapat melihat langsung serta mengetahui tentang keberadaan sejarah kabupaten Galuh di masa lalu ..
Namun, sayangnya letak Museum Galuh Imbanagara ini kurang strategis . kita harus memasuki sebuah gang untuk mencapainya. Museum ini juga relatif sepi dan kecil dibandingkan dengan museum-museum lain yang ada di Indonesia.
Situs Astana Gede Kawali
Situs Astana Gede di Dusun Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Ciamis ini menyimpan kandungan histori yang amat tinggi. Ada nilai-nilai luhur terbubuhkan di sini. Adalah Raja Wastu Kancana yang menorehkan pesan-pesannya di atas bongkahan batu cadas. Uniknya, pesan-pesan itu ditoreh menggunakan tangannya. Apa isi pesan mistis sang prabu?
Masyarakat luas lebih mengenal Situs Astana Gede ini dengan nama Prasasti Kawali. Di kompleks ini terdapat sembilan situs yang sangat dilindungi. Dari sembilan situs ini, beberapa diantaranya terdiri dari batu bertulis atau prasasti. Menurut penelitian kepurbakalaan, situs-situs ini adalah tinggalan Prabu Wastu Kancana pada abad ke-13 masehi. Pada masa itu, beliau dikenal sebagai raja muda yang arif dan bijaksana. Selain itu, Prabu Wastu dikenal pula sebagai raja yang sakti mandraguna.
Ketika Prabu Wastu memerintah, kondisi rakyat berada dalam kesejahteraan, adil dan makmur. Tak heran bila sang raja berhasil memimpin negeri di tanah Kawali mencapai 104 tahun lamanya. Seperti diurai juru kunci kompleks Astana Gede, Akup Wiria (65), Prabu Wastu adalah raja yang naik tahta pada umur 24 tahun dan berumur panjang.
Karena cita-citanya yang ingin agar rakyat Kawali adil dan makmur, maka diakhir hayatnya, sang prabu menorehkan pesan-pesan mistis di atas beberapa bongkah batu cadas yang keras. Uniknya, torehan pesan bijak tersebut dilakukan dengan telunjuk tangannya. Hal seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang biasa. Dan prabu Wastu telah menunjukkan kadigdayaannya agar pesan-pesannya dikenang sepanjang masa. Yang tidak kalah mengherankan juga terjadi pada sebongkah batu masih di kompleks itu pula. Di situ terdapat bekas telapak kaki sang prabu.
Dan memang, sejarah telah membuktikan. Berabad-abad kemudian, prasasti-prasasti ini ditemukan dan dijadikan benda cagar budaya yang dilindungi. Anehnya, kawasan yang tak lebih dari 200 meter persegi ini sangat mengesankan kehidupan tempo dulu. Menurut beberapa peziarah dan pengunjung Astaga Gede, terasa betul ada hawa mistis yang seolah-olah menyelimuti tempat ini. “Kalau berada di sini kita seperti hidup di masa yang lalu,” tutur Samsudin (43), salah seorang pengunjung.
Selain situs dan makam keturunan kerajaan Kawali, di kompleks Astana Gede ini masih ditumbuhi pohon-pohon berusia tua. Terlihat dari akar-akarnya yang panjang melingkar dan menyembul keluar. Kondisi ini semakin mengukuhkan Astana Gede sebagai tempat yang tidak lekang dimakan zaman.
Seperti diungkap juru kunci Akup Wiria, kompleks Astana Gede boleh dibilang amat keramatkan masyarakat. Itu tak lain karena ada pesan-pesan luhur yang ditorehkan karuhun (leluhur) untuk generasi penerus. Bahkan pada hari-hari tertentu, kompleks ini sering dikunjungi oleh para peziarah. Tujuannya mereka tidak lain untuk ngalap berkah.
Namun Akup Wiria menyayangkan karena pesan-pesan yang terdapat di Astana Gede cenderung diabaikan oleh generasi sekarang, terutama para pimpinan. “Makanya jangan heran bila sekarang bangsa ini tengah diancam kehancuran. Soalnya mereka terutama sibuk dengan urusan pribadi. Mereka lupa nasib rakyatnya dan juga pesan-pesan leluhur,” tandas juru kunci yang sudah puluhan tahun menjaga Astana Gede,
Misalnya pada Prasasti I, terdapat tulisan berbunyi, “Inilah bekas beliau yang mulia prabu Wastu Kancana, yang berkuasa di kota Kawali yang memperindah keraton Surawisesa yang membuat parit di sekeliling ibukota yang memakmurkan seluruh desa. Semoga anda penerus yangmelaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.”
Lalu para prasasti II, “Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan.” Dan prasasti IV, “Dari rasa yang ada yang menghuni kota ini jangan berjudi, bisa sengsara.” Semua pesan-pesan itu, kata Akup, sangat cocok dengan kondisi sekarang. Dan buktinya tidak diindahkan. Wajar bila negara ini dalam krisis berkepanjangan.
Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini kerap muncul isyarat aneh. Masyarakat di sana sudah mengerti bila isyarat itu muncul dari para arwah leluhur. Misalnya ketika ada keramaian seperti pertunjukan seni. Suatu ketika, pernah ada pertunjukan seni tradisional yang digelar siswa-siswa sekolah dasar di Ciamis. Pertunjukan dilangsungkan pada malam hari di depan pintu masuk kompleks. Kebetulan, cerita yang dipertunjukkan bertema perang bubat.
SITU LENGKONG
Luas Situ Lengkong adalah 57,95 Ha dan Nusa Gede 9,25 Ha. Jadi luas seluruhnya adalah 67,2 Ha dengan kedalaman air 4 m – 6 m. Situ ini berdiri di atas ketinggian 731 meter di atas permukaan laut.
Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi hasil buatan para leluhur Panjalu. Dimana dahulu kala sejak lebih kurang abad ke tujuh masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke 15) di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama kerajaan Panjalu.
Awal abad ke tujuh, Raja yang memerintah ialah Prabu Syang Hyang Cakradewa. Raja mempunyai keinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti raja haruslah memiliki terlebih dahulu ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang mahkota “Borosngora” lama sekali, tetapi tidak seorangpun diantara Wiku, para Resi dan para Pertapa yang sanggup menggugurkan ilmu tersebut. Akhirnya putera mahkota sampailah di Tanah Suci Mekah. Disanalah tujuan tercapai, yaitu mempelajari dan memperdalam Agama Islam (Dua Kalimah Syahadat).
Setelah cukup lama, maka pulanglah sang putera mahkota ke negara Panjalu dengan dibekali Air Zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan Pedang dan Cis dengan tugas harus menjadi Raja Islam dan sekaligus mengislamkan rakyatnya. Kemudian beliau menjadi Raja Panjalu menggantikan ayahandanya dengan gelar Syang Hyang Borosngora.
Mulai saat itulah Kerajaan Panjalu berubah dari Kerajaan Hindu menjadi Kerajaan Islam. Air Zamzam yang dari Mekah ditumpahkan ke sebuah lembah yang bernama Lebah Pasir Jambu, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah Danau yang kini disebut Situ Lengkong.
Pedang, Cis dan Pakaian Kesultanan disimpan di Museum Bumi Alit yang waktu itu merupakan Museum Kerajaan. Istana Kerajaan dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede Panjalu, sehingga dengan demikian air Situ Lengkong merupakan benteng pertahanan Keraton.
Situ Lengkong atau disebut juga Situ Panjalu merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada. Benda-benda peninggalan yang masih ada berupa dolmen, lingga, dan batu bekas singgasana/bertapa raja.
Bumi Alit, Situ Lengkong dan upacara nyangku merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah pada waktu Agama Islam masuk ke Kerajaan Panjalu yang merupakan awal terjadinya perkembangan sejarah baru.
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Prabu Boros Ngora memindahkan keraton yang semula terletak di daerah Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak ditengah- tengah Situ Lengkong. Selain keraton, ia juga memindahkan kepatihan yang disebut Hujung Winangun ke sebelah Barat Nusa Gede dan membuat taman serta kebun dan tempat rekrerasi di Nusa Pakel. Untuk memudahkan komunikasi, maka dibuat dua pintu gerbang untuk memasuki Keraton Nusa Gede, pintu gerbang yang pertama dibuat dari ukiran dan dijaga oleh Gulang-gulang yang berjenggot yang bernama Apun Obek. Sedangkan pintu gerbang yang ke dua merupakan jembatan yang menghubungkan Nusa Gede dengan daratan, letaknya di sebelah Barat yang dikenal dengan nama Cukang Padung (Jembatan dari balok-balok kayu) maka sekarang daerah-daerah tersebut dinamakan Dusun Cukang Padung.
Setelah Prabu Boros Ngora pindah ke Jampang maka kekuasaan Kerajaan Panjalu diserahkan kepada anaknya Raden Hariang Kuning dan selanjutnya diberikan kepada adiknya yang bernama Raden Hariang Kencana (Embah Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, yang menurunkan raja-raja Panjalu selanjutnya.
2 komentar:
blognya informatif kang, kunjungi juga blog sya ya di http://cutatangungun.wordpress.com
terima kasih kang udah berkunjung :)
http://cutatangungun.wordpress.com lebih informatif kang ... :)
Posting Komentar