Pages

 
 
Minggu, 26 Juni 2011

Acara Nyangku

Asal-usul Upacara Adat Sakral Nyangku

Dalam upacara sakral Nyangku, Museum Bumi Alit dan Situ Lengkong, satu sama lain saling berhubungan. Ketiga-tiganya merupakan tonggak sejarah terjadinya pergeseran keadaan sejarah Panjalu Lama ke Panjalu Baru.

Upacara adat sakral Nyangku juga merupakan peninggalan raja-raja Panjalu yang sekarang masih ada

Upacara adat sakral Nyangku pada jaman dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam agar rakyat Panjalu memeluk agama Islam. Upacara adat sakral Nyangku biasanya dilaksanakan setiap tahun satu kali yaitu pada bulan Robiul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin dan Jum’at.

Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”, yang artinya membersihkan. Karena salah mengucapkan orang Sunda maka menjadi “Nyangku”. Upacara adat sakral Nyangku adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.

Tujuan dari upacara adat sakral Nyangku adalah untuk merawat benda-benda pusaka supaya awet dengan tata cara tersendiri sebagai tradisi atau adat. Namun hakikat dari upacara adat sakral Nyangku adalah membersihkan dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Selain merawat benda-benda pusaka upacara adat sakral Nyangku juga bertujuan untuk memperingati maulud Nabi Muhammad SAW dan mempererat tali persaudaraan keturunan Panjalu.

Pelaksanaan Upacara Adat Sakral Nyangku

Penyelenggaraan upacara adat sakral nyangku dilaksananak oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, instansi-instansi  yang terkait, LKMD, tokoh masyarakat, dan para Kuncen. Jalannya upacara adat sakral Nyangku dikoordinir oleh Yayasan Noros Ngora dan desa.

Sebagai persiapan upacara adat sakral Nyangku, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang maulud Nabi Muhammad Saw biasanya jaman dulu suka menyediakan beras sebagai bahan sesajen untuk membuat tumpeng. Beras tersebut harus dikupas dengan tangan dari tanggal satu Maulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan upacara Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makan raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberitahukan upacara kepada kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.

Kemudian dilakukan pengambilan air untuk membersihkan benda-benda pusaka dari tujuh sumber mata air: 1. Mata air Situ Lengkong, 2. Karantenan, 3. Kapunduhan, 4. Cipanjalu, 5. Kubangkelong, 6. Pasanggrahan dan 7. Kulah Bongbang Kancana. Pengambilan air dilakukan oleh kuncen Bumi Alit atau petugas yang ditunjuk. Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri dari tujuah macam dan ditambah umbi-umbian, ke tujuh macam itu adalah: 1. ayam panggang, 2. tumpeng nasi merah, 3. tumpeng nasi kuning, 4. ikan dari Situ Lengkong, 5. sayur daun kelor, 6. telur ayam kampung dan 7. umbi-umbian. Selain itu juga ditambah tujuah macam minuman yaitu : 1. kopi pahit, 2. kopi manis, 3. air putih, 4. air teh, 5. air mawar, 6. air bajigur, dan 7. rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan dalam upacara adalah sembilan payung dan kesenian Gemyung untuk mengiringi jalannya upacara.

Sebelum upacara adat sakral Nyangku dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara Mauludan untuk memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dengan susunan acara biasanya:

Pembuka,
Pembacaan ayat suci Alqur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berzanzi,
Penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Boros ngora yaitu Bapak H. Atong Cakradinata,
4.   Sambutan-sambutan.

Wakil dari pemerintah daerah
Sesepuh Panjalu
Kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis
Uraian Maulid Nabi.
Do’a dan tutup dilanjutkan dengan acara kesenian Gemyung yang dilaksanakan semalam suntuk sampai pukul 03.00.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat kerajaan, para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora berjalan beriringan menuju Bumi alit, tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan sholawat Nabi Muhammad SAW, kemudian benda pusaka yang sudah dibungkus dengan kain putih mulai  disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pembersihan.

Perjalanannya dikawal oleh  peserta upacara adat serta diiringi dengan musik gemyung dan bacaan sholawat Nabi. Benda-benda pusaka diarak kurang lebih sejauh1 Km menuju Nusa Gede Situ Lengkong. Pada upacara Nyangku selain diiringi oleh musik gemyung juga didiringi oleh upacara adat. Barisan pembawa bendera umbul-umbul, penabuh gemyung dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan dengan para pembawa bendera pusaka.

Kemudian setelah sampai di Situ Lengkong dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal oleh perahu sebanyak 20 buah, kemudian diarak kembali menuju bangunan kecil yang ada di Nusa gedeberupa bangku yang beralaaskan kasur yang khusus dibuat untuk upacara Nyangku. Benda-benda pusaka kemudian disimpan di atas kasur tersebut dan satu persatu mulai dibuka bungkusnya lalu diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh H. Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan  dengan air dari tujuh sumber memakai jeruk mipis. Yang pertama kali dibersihkan adalah pedang Sanghyang Boros Ngora. Setelah selesai dicuci lalu dioles minyak kelapa yang dibuat khusus lalu dibungkus dengan cara melilitkan zanur (daun Kelapa muda) kemudian dibungkus kembali dengan kain putih  yang terdiri dari tujuh lapis, kemudian memakai tali dari benang boeh dan  dikeringkan dengan asap kemenyan, setelah itu disimpan kembali di Bumi alit.

Pelaksanaan upacara adat sakral Nyangku tidak selamanya dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tergantung situasi dan kondisi. Namun walaupun dilaksanakan di balai desa atau di alun-alun tetapi tidak mengurangi kesakralannya. Kadang-kadang sebelum rombongan datang ke bale desa, diadakan penjemputan dengan karesmen adat seolah-olah yang datang itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh berbagai kesenian diluar kesenian Gemyung. Bahkan di alun-alun seminggu sebelum hari H, Nyangku sudah ada kegiatan pasar malam.

Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat sakral Nyangku adalah diantaranya sebagai berikut:

Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam.
Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam
Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana.
Keris komando senjat bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando.
Keris pegangan para Bupati Panjalu.
Pancaworo senjata perang
Bangreng merupakan senjata perang
Gong kecil alat  untuk mengumpulkan rakyat dimasa yang dulu
Semua Benda Pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada dimasyarakat Panjalu.
Jumat, 17 Juni 2011

Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung Wanara

Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.

Ciung Wanara memerintah  selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung  Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.

Pada tahun 783, Manarah melakukan  manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya  dengan bertapa.

Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.

Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan

Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.

Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang. Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.

Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun  739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma, menyerang kerajaan  Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.

Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi  Banga yang pada waktu itu dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara  keduanya. Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan dengan  Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa  pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal ini telah diperhitungkan  oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan  turun tangan dan berhasil  melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan  dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah.

Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma

Nama Adimulya Permanadikusuma atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal  di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa pemerintahan Adimulya  Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.

Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka..

Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya membuat suatu strategi dengan  cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak  pertamanya yang bernama Ciung Wanara  baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.

Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya  Permanadikusumah yang  sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya

Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu  Prabu Tarusbawa pendiri Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.

Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.

Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.

Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah meninggal dunia. Hasil perundingan itu meneapkan bahwa:

Keterangan I :

Negara Sunda wilayah sebelah Barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada  Sri  Demunawan.
Medang di Bumi Mataram diserahkan  kepada Sanjaya.
Jawa timur diserahkan kepada Prabu Iswara.
Keterangan II :

Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
Galuh dan Sunda diserahkan kepada  Tamperan.
Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
Daerah sebelah Timur Paralor dan cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara  Narayana adik  Parwati Putra Maharani Sima.
Dengan demikian maka pulau jawa terbagi  atas empat bagian pemerintahan. Sanjaya yang disebut juga Rakaian  Jamri sekaligus menjadi penguasa kerajaan Galuh, Sunda, dan Kalingga, menyadari bahwa kedudukannya sebagai  penguasa di Galuh tidak disukai oleh orang-orang Galuh, oleh sebab itu dicari figur yang cocok untuk dijadikan penguasa di Galuh. Akhirnya Sanjaya menemukan figur yang dianggapnya cocok untuk memerintah di Galuh yaitu Adimulya Permanadikusuma Cucu dari Purbasora.

Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora

Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari  perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.

Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.

Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa

Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara  Mandiminyak dan Pwah  Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang  dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.

Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak

Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha. Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya.. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutan Perkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.

Updates Via E-Mail